,

TAJUK BISNIS: Revolusi Mental dari Kantong Plastik

Bisnis.com, JAKARTA- Uji coba kantong plastik berbayar di 23 kota menuai pro kontra. Tujuan kebijakan yang dilansir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu belum sepenuhnya mencapai sasaran.

Kebijakan kantong plastik berbayar sebenarnya bertujuan untuk mencegah warga masyarakat agar tidak menggunakan kantong plastik saat berbelanja di super market atau pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, kantong plastik yang sebelumnya gratisan, kini berbayar. Harganya pun ditetapkan Rp200 per kantong. Namun, di lapangan ceritanya lain.

Pertama, banyak terjadi kesalahpahaman, baik di petugas supermarket maupun warga masyarakat. Di banyak supermarket, para petugas kerap langsung mengenakan tarif Rp200 per kantong saat konsumen membayar barang belanjaan.

Tidak ada komunikasi, apakah konsumen perlu menggunakan kantong plastik atau tidak. Tidak ada dialog. Kalaupun ada protes, penjelasan yang kerap muncul adalah sekadar mengikuti aturan pemerintah. Tidak ada penjelasan, bahwa aturan itu bertujuan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Padahal, kalau pemahaman konsumen memadai, dan sadar lingkungan, mereka bisa membawa tas belanja— dalam berbagai bentuk—dari rumah.

Kedua, harga kantong terlalu murah. Kalau tujuannya adalah untuk mencegah pembeli menggunakan kantong plastik, harga Rp200 per kantong terlalu murah. Ini pula yang disampaikan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Ia pun mengaitkan dengan hasil evaluasi atas sejumlah insiden banjir di kota Bandung, bahwa sebagian besar disebabkan sumbatan pada saluran air akibat sampah plastik. Bahkan ia menyebut 70% penyebab sumbatan saluran air adalah sampah plastik. Karena itu, demi tujuan mencegah penggunaan kantong plastik, sang walikota akan mengevaluasi harga kantong plastik tersebut sampai Juni 2016, dan diharapkan bisa lebih mahal dari saat ini. Ia menyebut angka di kisaran Rp2.000 per kantong lebih masuk akal.

Ketiga, kelemahan sosialisasi menjadikan isu kantong plastik berbayar terpeleset atau dipelesetkan ke arah lain. Kebijakan ini dipahami seakan-akan pemerintah hendak memperdagangkan kantong plastik, atau mencari pendapatan dari kantong plastik.

Isu yang tidak berdasar ini mudah diolah dan digulirkan, karena dibarengi dengan berbagai informasi mengenai anggaran pemerintah yang tengah mengalami tekanan dari sisi  penerimaan. Namun, jelas yang terakhir ini adalah politisasi dari kebijakan kantong plastik berbayar.

Padahal, harian ini melihat, kebijakan mengenai kantong plastik berbayar ini merupakan salah satu terobosan dalam mendidik warga agar sadar lingkungan. Pasalnya, penggunaan kantong plastik dewasa ini sudah nyaris tidak terkontrol, dan memberi kontribusi signifikan bagi penumpukan sampah dan ketidakseimbangan lingkungan hidup.

Kita melihat, hampir setiap musim penghujan tiba seperti sekarang ini, saluran-saluran air di kota-kota besar kerap tidak berfungsi maksimal karena tersumbat oleh sampah yang kebanyakan berasal dari plastik.

Wali Kota Bandung sendiri mengakui, penyebab utama saluran air tak berfungsi maksimal di Bandung adalah sumbatan sampah plastik. Belum lagi di Jakarta. Kalau kita perhatikan kali Ciliwung, termasuk di Pintu Air Manggarai, sampah plastik terlihat dominan di pintu air tersebut.

Oleh karena itu, kita perlu mendorong agar penggunaan kantong plastik sebisa mungkin dihindarkan. Harian ini sependapat dengan Walikota Bandung, apabila instrumen harga itu dipakai sebagai cara men-discourage penggunaan kantong plastik, kita mendesak agar harga jualnya dinaikkan relatif mahal.

Bahkan harga jual kantong plastik Rp5.000 atau Rp10.000 pantas diterapkan agar konsumen enggan menggunakan kantong karena harganya tidak murah. Hasil penjualan kantong itu, kalau perlu, tidak dikantongi oleh pemilik toko, tetapi diserahkan sebagai hibah dana pengelolaan lingkungan.

Dengan demikian, pemilik dan petugas toko juga tidak memanfaatkan kesempatan untuk berbisnis, tetapi menjadi penjaga terdepan mencegah konsumen menggunakan kantong plastik.

Kita yakin cara ini akan mempercepat kesadaran dan perubahan perilaku masyarakat, mengingat penggunaan kantong plastik yang semena-mena seperti sekarang ini amatlah berbahaya bagi masa depan lingkungan kita.

Lebih dari itu, kita mendesak agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerjasama intensif dengan pemerintah daerah, untuk melakukan sosialisasi yang lebih massive atas kebijakan tersebut.

Ini adalah bagian dari revolusi mental untuk semakin sadar pentingnya menjaga lingkungan hidup.

Artikel di atas dapat dibaca di sini

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).