Realitas Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Pasar Tradisional Kota Bogor: Studi Kasus Pasar Baru Bogor

Pemerintah Kota Bogor telah mengeluarkan Peraturan Walikota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Plastik. Sejak diberlakukannya peraturan tersebut, Kota Bogor berhasil mengurangi pengangkutan sampah plastik yang dikirimkan ke TPA Galuga hingga mencapai 41 ton per bulannya. Namun, sayangnya pasar tradisional belum menjadi salah satu subjek yang masuk ke dalam peraturan tersebut. Padahal pasar tradisional merupakan salah satu lokasi yang menjadi sumber tempat penyumbang plastik sekali pakai di Kota Bogor, karena pasar tradisional masih menjadi pilihan masyarakat Kota Bogor untuk melakukan kegiatan belanja hariannya. Berdasarkan hal tersebut, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) bersama Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor dan Perumda Pasar Pakuan Jaya Kota Bogor berkolaborasi untuk melaksanakan program eksperimen Pasar Bebas Plastik dan menjadikan Pasar Baru Bogor sebagai pasar percontohan Bebas Plastik pertama Kota Bogor.

Program Pasar Bebas Plastik ini diawali dengan kegiatan riset baseline kepada pedagang dan Focus Group Discussion (FGD) bersama perwakilan komunitas lokal di Kota Bogor. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengetahui angka konsumsi plastik sekali pakai yang digunakan oleh pedagang pasar, serta untuk mengetahui ide dan solusi alternatif apa yang perlu diterapkapkan agar pengurangan konsumsi plastik sekali pakai di pasar tradisional ini dapat tercapai.

Riset baseline dilakukan pada 14-21 Desember 2020. Berdasarkan hasil riset baseline yang dilakukan oleh GIDKP di Pasar Baru Bogor kepada para pedagang, menunjukkan bahwa plastik yang paling banyak digunakan adalah jenis kantong kresek besar dan kecil. Dalam sehari, di Pasar Baru Bogor bisa menghasilkan sebanyak 6.318 lembar kantong kresek besar dan 11.490 lembar kantong kresek kecil. Lebih lanjut, dari 353 responden, terdapat  68% pedagang yang bersedia mengurangi penggunaan plastik untuk berjualan. Mereka setuju karena dapat mengurangi pengeluaran untuk pembelian kantong kresek. Rata-rata satu pedagang dapat mengeluarkan biaya Rp 80.000 sampai dengan Rp 300.000 per bulan hanya untuk pembelian kantong plastik. Namun, mayoritas pedagang komoditas basah seperti daging, ayam, dan ikan masih belum siap apabila harus mengurangi konsumsi kantong plastik di kiosnya. Sebagian besar pedagang juga sudah paham dan mengetahui bahwa plastik berbahaya terhadap manusia dan lingkungan. Menurut para pedagang, konsumen yang membawa kantong belanja sendiri masih sangat jarang dijumpai, bahkan dapat dihitung jari. Kemungkinan hal tersebut dikarenakan konsumen lupa, malas, ataupun ingin praktis. 

Sama halnya dengan yang disampaikan oleh para peserta FGD yang berasal dari berbagai komunitas, yaitu masih sulitnya mengubah pola pikir masyarakat. Sehingga perlu adanya dukungan dari seluruh pihak mulai dari instansi pemerintahan, pedagang, konsumen, dan peran serta kewilayahan untuk berkolaborasi. Pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan aturan yang jelas beserta reward dan punishment bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Rewards dapat diberikan kepada pedagang yang mulai menyediakan/menjual kantong guna ulang di kiosnya, ataupun  konsumen yang membawa kantong guna ulang ketika berbelanja. Harapannya kegiatan edukasi dan sosialisasi dapat terus dilakukan secara berkelanjutan dan pengurangan konsumsi plastik di pasar tradisional dapat tercapai sehingga program Pasar Bebas Plastik ini dapat direplikasi di pasar tradisional lainnya di Kota Bogor.

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).