,

Prof. Paul Connett dan Kontribusi Pemikirannya di Tengah Polemik Persampahan Indonesia

Hampir tiga tahun lalu, sebuah film berjudul ‘Trashed’ diputar di Jakarta. Pemutaran film ini istimewa karena dihadiri oleh Joko Widodo (saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta), Jeremy Irons (sutradara film tersebut), Megawati, dan ratusan warga Indonesia. Film itu menyadarkan seluruh penontonnya akan buruknya sistem pengelolaan sampah di seluruh dunia, termasuk di Jakarta. Buruknya sistem tersebut memberi banyak sekali dampak bagi ekonomi, lingkungan, dan kesehatan. Tidak hanya pada manusia, namun juga pada makhluk hidup lainnya.

Salah satu narasumber dalam film tersebut menjelaskan bahwa hal mendasar yang menjadi penyebab masalah sampah adalah cara manusia membangun peradabannya: “Alam berfungsi dengan memproduksi sesuatu lalu menghancurkannya, memproduksi lalu hancurkan. Sementara manusia, selalu melempar produk yang tidak dapat dihancurkan ke alam”. Narasumber tersebut adalah Prof. Paul Connett, ia adalah lulusan dari Universitas Cambridge dan memegang gelar Ph. D dalam bidang kimia dari Dartmouth College. Setelah mengajar kimia dan toksikologi selama 23 tahun di Universitas St. Lawrence, ia pensiun dan membantu berbagai pergerakan lingkungan. Prof. Paul Connett mempublikasikan buku tulisannya “The Zero Waste Solution: Untrashing the Planet One Community at a Time” pada 2013, setelah ia menjadi narasumber dalam film ‘Trashed’.

Dalam rangkaian “Zero Waste Hero Tour” di Indonesia pada tanggal 22 Oktober hingga 5 November 2016, Prof. Paul Connett dijadwalkan hadir menjadi pembicara di berbagai acara di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Tur ini diselenggarakan oleh Aliansi Zero Waste Indonesia yang dibentuk oleh BaliFokus, YPBB, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, Ecoton, Walhi, Greenpeace, Kruha, ICEL, dan Komunitas Nol Sampah.

Memulai turnya di Indonesia, Prof. Paul Connett berkesempatan untuk bertemu dengan pengurus kawasan perumahan di Kelurahan Pondok Pinang, yang lebih dikenal dengan kawasan Pondok Indah, bersama dengan puluhan warga Pondok Indah dan sekitarnya. Pengurus kawasan tersebut sedang mempersiapkan konsep pengelolaan sampah yang bertanggungjawab, dibantu oleh Komunitas Hijau Pondok Indah, waste4change, dan Lab Tanya. Mereka juga didekati oleh pihak-pihak lain yang ingin menawarkan konsep lain seperti sistem kumpul-pindah-angkut-buang dan ada juga yang menawarkan insinerator.

Selain di Pondok Indah, Prof. Paul Connett juga dijadwalkan memberikan presentasi di  beberapa tempat di Jakarta, seperti Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Walhi Nasional, dan @america. Presentasi ini dihadiri dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, konsultan, lembaga swadaya masyarakat, hingga korporasi.

Dalam setiap sesi presentasinya, Prof. Paul mengawali diskusi dengan penjelasan mengenai sebab-sebab problematika sampah, antara lain ekonomi linear dan sistem daur ulang yang saat ini berjalan. Prof. Paul memberi pemaparan dengan sangat gamblang. Setiap penjelasan Prof. Paul Connett, disertai dengan ilustrasi dan cerita dari berbagai pengalaman pribadinya. Prof. Paul juga banyak memberikan alternatif solusi yang tersedia dan praktiknya di berbagai negara. Sebagai contoh, ekonomi linear dapat ditransformasi menjadi ekonomi melingkar (circular economy).

Prof. Paul juga memberitahukan dampak dari penerapan insinerator seperti kerugian energi, dampak terhadap kesehatan, ekonomi, dan lainnya. Prof. Paul dapat menjelaskan sangat detail mengenai dampak insinerator terhadap kesehatan karena beliau telah banyak meneliti langsung dan menerbitkan hasil penelitiannya yang menjadi rujukan berbagai pihak. Salah satu contohnya, Prof Paul menerangkan bahwa seekor sapi menghirup racun dioksin (buangan insinerator) lebih banyak daripada manusia yaitu 1 hari hirupan dioksin oleh sapi setara dengan 14 tahun hirupan dioksin oleh manusia. Barangkali Anda tidak terlalu kuatir membaca hal itu, namun Anda akan kuatir ketika disadarkan bahwa kita (manusia) mengkonsumsi daging sapi dan susu sapi. Di peternakan yang berlokasi dekat dengan insinerator, satu liter susu sapi mengandung dosis dioksin setara dengan hirupan dioksin oleh manusia selama 8 bulan. Sementara, dioksin yang terhirup oleh manusia akan melekat pada lapisan lemak dalam badan dan akan terus menumpuk. Tidak ada cara untuk pria mengeluarkan dioksin dari dalam tubuhnya, untuk wanita ada satu cara yaitu melahirkan. Namun dengan melahirkan, dioksin yang keluar dari tubuh wanita akan beralih ke tubuh sang bayi yang baru terlahir ke dunia.

The waste problem will not be solved with better technology, but with better organization, education, and industrial design – masalah sampah tidak bisa terselesaikan dengan teknologi yang lebih baik, tetapi dengan aturan yang lebih baik, edukasi yang lebih baik, dan desain industri yang lebih baik”, tegas beliau.

Setelah menerangkan tentang bahaya insinerator, Prof. Paul menerangkan 10 solusi persampahan yang realistis. Sepuluh solusi tersebut adalah:

  1. Pemilahan di sumber. Hal ini sangat penting untuk memastikan sampah yang dihasilkan di sumber dapat diolah secara maksimal.
  2. Pengumpulan dari pintu ke pintu, agar menjamin sampah yang dihasilkan dikelola secara bertanggungjawab. Tidak dibuang ke sungai atau dibakar.
  3. Pengomposan. Professor Paul berkali-kali menekankan bahwa mengompos itu mudah, jadi lakukanlah.
  4. Daur ulang. Pengolahan sampah dengan daur ulang dapat menghemat energi dari fase ekstraksi bahan baku.
  5. Penggunaan kembali, perbaikan, dan pembongkaran. Ketiga hal ini dapat menghemat energi dari fase produksi produk baru.
  6. Insentif ekonomi. Penting agar sektor industri lebih berminat mempertanggungjawabkan sampahnya.
  7. Inisiatif pengurangan sampah. Juga wajib karena dengan pengurangan sampah di sumber, maka usia sistem pengelolaan sampah dapat diperpanjang.
  8. Pusat pemilahan dan penelitian residu. Residu (sampah sisa yang tidak dapat didaurulang atau digunakan ulang) perlu dikelola agar tidak menjadi masalah berkepanjangan.
  9. Desain Industri yang Lebih Baik. Sampah kita sebagian besar adalah akibat produk industri yang tidak mudah didaurulang atau diguna ulang, karena itu desain industri perlu disesuaikan, jika suatu produk tidak dapat didaur ulang lebih baik tidak usah diproduksi.
  10. TPA. Tetap diperlukan selama masih ada sampah namun tidak bisa menjadi satu-satunya langkah yang dijalankan. Dapat dilihat pada gambar, Prof. Paul mengilustrasikan TPA dengan segitiga yang semakin ke kanan semakin menipis. Ini menunjukkan harapan bahwa semakin lama, jumlah sampah per hari yang dibuang ke TPA semakin sedikit.

Pesan Prof. Paul Connett kepada industri adalah “if we can’t reuse it, recycle it, or compost it, the industry shouldn’t be making it – jika kita tidak bisa menggunakannya lagi, mendaur ulang, atau mengomposkannya, industrus seharusnya tidak menciptakan itu”.

Froilan Grate dari Mother Earth Foundation, Filipina, pun berkesempatan memberikan presentasinya. Froi, begitu ia disapa, berbagi cerita sukses implementasi zero waste di Filipina. Ada lebih dari ratusan kelurahan di Metro Manila yang sukses dicapai Mother Earth Foundation selama kurang lebih 17 tahun dalam upayanya menjadikan kawasan nol sampah. Salah satu kelurahan di Metro Manila berhasil mengubah TPS yang tadinya kotor dan bau, dalam tiga bulan saja sudah menjadi taman kota dengan fasilitas pengelolaan sampah yang bertanggung jawab.

Salah satu daerah yang dijadikan kawasan nol sampah adalah Fort Bonifacio, yang telah menghasilkan 21 lapangan pekerjaan, 80% tingkat pengalihan, dan 95% tingkat pemisahan sampah di rumah. Bahkan, di San Fernando, lebih dari 200 lapangan pekerjaan muncul untuk mengelola sampah di 180 TPS3R (Tempat Pemrosesan Sementara – 3R, reduce, reuse, recycle).

Selain memberikan presentasi, Prof. Paul Connett dan Froi juga berkesempatan bertemu dengan Charge D’Affairs US Embassy, Deputi Gubernur DKI Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, dan lain-lain. Kegiatan ini dilanjutkan di Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Diharapkan melalui tur ini, pemahaman dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan terdesentralisasi bisa meningkat dan konsep zero waste dan circular economy sangat mungkin diterapkan di Indonesia. Selain itu, dengan menerapkan konsep zero waste juga dapat memberikan kontribusi untuk menekan laju kenaikan suhu bumi dibawah 2⁰ C.

Kontributor: Zulfikar

Editor: Rahyang Nusantara

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).