Kamis, 3 Maret 2016 04:40 | Dilihat : 74 | Jurnalis : RED
Kebijakan pengenaan kantong plastik berbayar yang diterapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menuai kritik. Langkah itu dinilai bukan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan sampah, terutama dari bahan plastik. Apalagi situasi ekonomi yang sedang krisis membuat kebijakan itu membebani masyarakat, terutama produsen dan konsumen di pasar-pasar tradisional di daerah.
”Saya kira itu bukan solusi yang baik dan bijak. Seharusnya pemerintah berpikir bagaimana mengolah sampah plastik menjadi bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Kan lebih kreatif kalau seperti itu,” ucap pengamat kebijakan publik Tony Candra, di Medan, Sumatera Utara, baru-baru ini.
Seperti diketahui, mulai Minggu (21/2), Kementerian LHK mencanangkan pemberlakuan serentak sistem kantong plastik berbayar di 22 kota di Indonesia. Sejumlah kota besar yang sudah menerapkan yakni Jakarta, Bandung, Balikpapan, Makassar, dan Surabaya. Sistemnya diatur pemerintah provinsi sampai tingkat kabupaten dan kota.
Menurut Tony, jika pemerintah berkeinginan mengurangi produksi sampah plastik, karena tak bisa terurai dalam waktu yang cepat, seharusnya mengampanyekan pengalihan penggunaan kantong plastik ke kantong kertas. ”Kantong kertas itu juga sudah digunakan di luar negeri,” ucapnya.
Pemerintah jangan membebani masyarakat dengan kebijakan ini, tetapi semestinya membidik perusahaan penggunaan plastik dalam kapasitas besar.
”Contohnya, perusahaan mainan, makanan, dan minuman yang membungkus produksinya dengan plastik. Seharusnya ke sanalah penggunaan plastik itu dibebankan biaya. Jangan ke masyarakat,” katanya.
Tony juga heran dengan pernyataan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman yang mengatakan, seluruh hasil penjualan kantong plastik yang disediakan perusahaan retail akan dialokasikan untuk pembinaan edukasi konsumen, dengan harapan masyarakat sadar mengurangi sampah.
Artikel diambil dari Suara Karya yang dapat dibaca di sini