,

Asosiasi Ritel Patok Harga Kantong Plastik Rp200

Jakarta, CNN Indonesia — Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta keleluasaan untuk menetapkan harga kantong plastik berbayar yang akan diujicobakan pemerintah pada 21 Februari 2016 di sejumlah kota dan provinsi. Selama masa sosialisasi, toko-toko di bawah nagunan Aprindo akan mematok harga jual kantong plastik sebesar Rp200 dan sudah termasuk PPN.

Ketua Umum Aprindo Roy Mandey berharap kebijakan kantong plastik berbayar bisa membuat masyarakat bisa lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik.

Untuk itu, lanjutnya, konsumen disarankan membawa tas belanja sendiri atau akan diminta membeli kantong plastik maupun tas belanja yang dapat dipakai berulang (reuseable) di toko-toko anggota Aprindo.

Selain itu, Roy mengatakan peritel juga akan membantu pemerintah menyosialisasikan terlebih dahulu dan mengedukasi masyarakat melalui berbagai media serta melakukan pemasangan poster di toko agar konsumen mengerti dampak negatif limbah plastik bagi lingkungan.

Apabila kebijakan ini berhasil diterapkan, jelasnya, beban peritel dari pembelian kantong plastik dapat dialokasikan untuk dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility (CSR) peritel modern bagi lingkungan.

Karena itu, ia berharap pemerintah memberikan keleluasaan kepada pengusaha ritel dalam menentukan harga jual kantong plastik dan mengatur mekanismenya.

Selama masa sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, Aprindo akan mematok harga jual kantong plastik sebesar Rp200 termasuk PPN. Menurutnya, ini merupakan harga yang disubsidi oleh peritel agar tidak memberatkan konsumen.

Selain meminta keleluasaan dalam penetapan harga kantong plastik berbayar, Roy Mandey juga berharap pemerintah tidak menetapkan peraturan daerah (perda) yang mengatur kantong plastik tersebut.

Implementasi kebijakan kantong plastik berbayar di daerah, menurut Roy, tidak memerlukan perda karena status barang tersebut akan diberlakukan seperti barang dagangan lainnya yang menjadi otoritas dan mekanisme peritel selama ini.

Dia khawatir tren belanja konsumen ke ritel modern menurun akibat kebijakan ini.

“Pemerintah juga harus melindungi semua sektor industri agar bisa tumbuh, termasuk diantaranya sektor ritel yang berada di hilir dan merupakan industri padat karya,” tutur Roy melalui siaran pers Aprindo yang dikutip Minggu (14/2).

Roy menegaskan bahwa peritel sepakat tidak ingin menggunakan kelebihan hasil penjualan kantong plastik sebagai donasi untuk berbagai aktivitas sosial.

Dana CSR sumbernya tetap dari perusahaan, dengan menekan biaya perusahaan tentunya dana perusahaan untuk CSR dapat meningkat.

Menurut dia, pemerintah sudah berinisiatif membuatkan aturan, pengusaha memberikan dukungan dan menjalankannya dengan harapan respon masyarakat juga positif.

Data Nielsen 2015 menyebutkan, pangsa pasar industri ritel atau toko swalayan (minimarket, supermarket, hipermarket, dan perkulakan) di Indonesia hanya sebesar 26 persen, sedangkan ritel pasar rakyat mencapai 74 persen.

Artinya, kebijakan ini hanya akan berhasil jika semua peritel baik toko swalayan maupun pasar rakyat menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar secara simultan. (ags)

 

Artikel di atas diambil dari CNN Indonesia yang dapat dibaca di sini

Bagikan

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza has led Diet Plastik Indonesia, and co-founded it, since 2013. She feels grateful that the environmental law knowledge she learned in college can be used to make changes. In her spare time, Tiza enjoys making doll houses out of cardboard for her children and doing water sports. Tiza is an alumna of the Faculty of Law, University of Indonesia (2002) and Harvard Law School (2010).

Tiza Mafira

Executive DirEctor

Tiza memimpin Dietplastik Indonesa, dan turut mendirikannya, sejak 2013. Ia merasa bersyukur ilmu hukum lingkungan yang dipelajarinya ketika kuliah dapat digunakan untuk membuat perubahan. Pada waktu senggang, Tiza senang membuat rumah boneka dari kardus untuk anak-anaknya dan melakukan olahraga air. Tiza adalah alumna Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2002) dan Harvard Law School (2010).