Pada sesi World Economic Forum (WEF) 3 Agustus 2025 yang diadakan di Jenewa, Swiss, Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira menjadi salah satu panelis pada forum yang mengangkat tema Beating Plastic Pollution:Solutions Day. Tiza menyuarakan perspektif kuat dari masyarakat sipil terkait perundingan Global Plastic Treaty atau Perjanjian Plastik Global. Tiza mengingatkan bahwa proses negosiasi berisiko terpecah menjadi dua kubu: mereka yang mendorong pelarangan plastik dan bahan kimia berbahaya dari hulu; dan mereka yang hanya fokus pada solusi pengelolaan sampah di hilir. Menurutnya, masyarakat sipil sejak awal selalu bersatu, mulai dari advokasi larangan plastik, inovasi sistem guna ulang atau reuse, hingga kolaborasi lintas komunitas, pekerja sampah, ritel, pemerintah, dan konsumen.
Inovasi akan sistem guna ulang dinilai menjadi solusi kuat untuk mengatasi polusi plastik. Tiza menegaskan bahwa guna ulang kini telah berkembang menjadi sistem terstruktur. Indonesia baru saja meluncurkan Asosiasi Guna Ulang Indonesia (AGUNI) yang terdiri dari 14 organisasi pelaku guna ulang sebagai pendiri. Di tingkat regional, Asia Reuse Consortium telah mencakup lima negara yang mengedepankan solusi guna ulang, ditambah dengan adanya Global Reuse Alliance yang tengah dibentuk untuk menghubungkan enam koalisi regional. “Kita tidak menunggu. Kita sedang membangun sistem yang akan menggantikan plastik sekali pakai.” tegasnya.
Tiza memaparkan dua hal utama yang dibutuhkan komunitas garis depan di negara berkembang agar dapat mengatasi polusi plastik secara efektif melalui Perjanjian Plastik Global ini. Hal pertama adalah mengenai target penerapan guna ulang secara nasional. Menurut Tiza, guna ulang tidak bisa bersaing dengan sekali pakai dalam struktur ekonomi saat ini karena plastik sekali pakai mendapat subsidi besar dan tidak mencerminkan biaya sosial-lingkungan yang sebenarnya. Padahal, sistem guna ulang yang telah terbukti dan populer, seperti botol susu dengan kemasan kaca yang dapat dikembalikan.
Ia menyerukan agar perjanjian yang sedang diperjuangkan dapat menetapkan target guna ulang nasional, melarang plastik sekali pakai yang bermasalah, atau mengenakan instrumen ekonomi yang mendisinsentifkan penggunaan sekali pakai.
Tiza juga mengkritik pola pembiayaan yang mayoritas masih mengalir ke insinerasi/pembakaran dan waste-to-energy. Padahal, hal ini berada di hierarki pengelolaan sampah paling akhir. Sebaliknya, inisiatif guna ulang berbasis komunitas yang sudah menciptakan lapangan kerja justru minim dukungan. Ia meminta agar perjanjian plastik global memprioritaskan pembiayaan sesuai hierarki: Reduce (mengurangi), Reuse (guna ulang), Recycle (daur ulang), lalu pembuangan akhir.
Konsep guna ulang saat ini bukanlah hanya dengan membawa tumbler. Tiza menjelaskan bahwa guna ulang yang dimaksud adalah model bisnis, bukan sekadar perilaku konsumen. Konsep guna ulang dengan menekankan pada “containers as a service” mendorong sistem dimana produsen/distributor tetap memiliki wadah, mengelola pembersihan, pengisian ulang, dan logistik. Ini memindahkan beban dari konsumen ke rantai pasok, sehingga guna ulang menjadi praktis, terukur, dan berkelanjutan. Sektor yang paling aktif yan dapat menerapkan sistem ini adalah meliputi layanan makanan-minuman, ritel acara, dan industri perhotelan.
Tiza memberikan penekanan bahwa guna ulang bukan ide baru—ini solusi lama yang memerlukan dukungan kebijakan modern. Komunitas tidak menunggu; mereka sudah bergerak. Perjanjian Plastik Global harus mengakui dan menguatkan upaya ini lewat target, larangan, dan pembiayaan yang adil. Ia membawa semangat dan berharap agar pertemuan perundingan Perjanjian Plastik Global di Jenewa ini menjadi yang terakhir sebelum kesepakatan final tercapai.