Permasalahan sampah plastik masih menjadi permasalahan yang besar dan belum juga terselesaikan. Dampak yang dihasilkan oleh sampah plastik tidak hanya menyerang manusia dan hewan saja. Kini sampah plastik juga menjadi musuh dari estetika lingkungan seperti daerah pariwisata yang ada di Indonesia. Misalnya seperti Bali, salah satu ikon pariwisata di Indonesia yang menjadi surga para wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Baru-baru ini juga Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) meluncurkan kampanye “We Love Bali” sebagai salah satu wujud kebangkitan Bali sebagai kota pariwisata di masa pandemi Covid-19. Selain sebagai ikon pariwisata Indonesia, Bali juga menjadi provinsi pertama yang memiliki pelarangan 3 jenis plastik sekali pakai yang diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 mengenai Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Peraturan ini telah berjalan selama satu tahun sembilan bulan. Laporan angka penurunan sudah pernah dipublikasikan, tetapi kenyataan di lapangan seperti pada pasar tradisional, pedagang pinggir jalan, dan penjual makanan kaki lima, masih banyak ditemukan menggunakan plastik sekali pakai. Padahal, dalam peraturan ini terdapat tiga jenis plastik sekali pakai (PSP) yang dilarang, yakni kantong plastik, polistirena (styrofoam), dan sedotan plastik (pipet). Aturan ini mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Peraturan ini juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.
Melihat situasi tersebut, AZWI (Aliansi Zero Waste Indonesia) bersama dengan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, dan Nexus3 Foundation bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali dan didukung oleh Plastic Solution Fund dan USAID – Municipal Waste Recycling untuk melakukan kegiatan monitoring dan lokakarya dari penerapan peraturan ini.
Kegiatan lokakarya ini forum diskusi ini dibagi kedalam tiga sesi selama tiga hari. Adapun setiap sesi diisi oleh narasumber-narasumber sebagai pemantik diskusi sesuai dengan subtopiknya yang dilaksanakan pada 4-7 November 2020 yang dihadiri oleh pemerintahan khususnya DKLH Provinsi Bali, pelaku usaha dan kelompok masyarakat sipil. lokakarya dibuka oleh Drs. I Made Teja, yang merupakan Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. Dalam kata sambutannya, beliau menyampaikan bahwa pada peraturan ini terdapat tiga objek plastik sekali pakai yang dilarang, yaitu Kantong plastik, sedotan/pipet, dan Styrofoam. Larangan berlaku untuk produksi, pendistribusian, pemasok, penyediaan dan penggunaan.
Dalam pelaksanaannya yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2019, Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali juga telah melaksanakan kegiatan-kegiatan mulai dari pemberian Surat Edaran, rapat koordinasi, sosialisasi, pembinaan, inventarisasi, dan FGD dengan LSM/NGO. Dalam diskusi bersama perwakilan Dinas Lingkungan Hidup se-Provinsi Bali di tingkat kabupaten/kota, terdapat beberapa hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk perbaikan pelaksanaan peraturan di masa mendatang, yang diantaranya berkaitan dengan adanya tren peningkatan penggunaan dan distribusi PSP di beberapa kabupaten/kota setelah Pergub diimplementasikan (di semester kedua 2019), penurunan timbulan sampah/penggunaan PSP menurun di tahun 2020 karena pandemi serta tidak direkomendasikannya penggunaan kantong ramah lingkungan berjenis biodegradable/bioplastik. Adapun beberapa peluang dan usulan rencana tindak lanjut yang disampaikan oleh perwakilan Dinas Lingkungan Hidup se-Provinsi Bali berkaitan dengan kerjasama dengan berbagai stakeholder, penegakan peraturan, perubahan perilaku masyarakat, dan ketersediaan data.
Pada sektor ritel, khususnya toko modern, Aprindo Bali menuturkan bahwa sebelum penerapan peraturan, banyak pengeluaran yang dikeluarkan untuk penyediaan kantong plastik, sehingga dengan adanya peraturan ini mereka cukup diuntungkan (menghemat pengeluaran).Toko-toko modern, yang merupakan anggota dari Aprindo Bali, ada yang sudah 100% tidak lagi menyediakan kantong plastik, meski demikian toko-toko kecil masih ada yang menyediakan kantong plastik.
Diskusi ini juga memaparkan tantangan dan hambatan dalam penerapan peraturan ini (baik tingkat kota dan provinsi), diantaranya mengubah kebiasan dan kesadaran masyarakat yang cukup sulit, memaksa masyarakat untuk patuh terhadap peraturan, serta harga produk ramah lingkungan yang masih jauh lebih mahal dibanding plastik sekali pakai sehingga harganya harus sama dengan plastik sekali pakai. Namun demikian, terdapat beberapa peluang untuk menjawab tantangan dan hambatan tersebut, mulai dari revitalisasi pasar dengan program, mengoptimalisasi kinerja pasar rakyat, menyediakan produk ramah lingkungan, sampai dengan menegakkan regulasi yang lebih tegas untuk masyarakat.
Perwakilan dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik,Rahyang Nusantara, selaku Koordinator Nasional menyampaikan bahwa fokus kerja di pengurangan plastik sekali pakai perlu memahami alternatif pengganti yang bersifat pakai ulang dan benar-benar ramah lingkungan. Salah satunya adalah perlunya memahami bahwa setiap barang itu terdapat daur hidup yang bisa diukur (life cycle assessment), dimana di Indonesia belum terlalu populer. Mengganti kemasan/barang plastik sekali pakai, seperti Kantong plastik, sedotan, dan Styrofoam, tentunya harus dialihkan kepada kemasan/barang yang bisa digunakan berulang kali, bukan yang sekali pakai. Meskipun saat ini banyak kemasan/barang yang diberi label mudah terurai, tidak semua kemasan/barang tersebut benar-benar bisa terurai begitu saja di alam.
Terdapat dua jenis kemasan/barang mudah terurai, yaitu biodegradable dan bioplastic. Bahan yang sifatnya biodegradable, bisa jadi belum tentu bahannya dari tanaman. Salah satu kemasan/barang yang beredar di pasaran adalah oxo-degradable. Bahan ini hanyalah plastik pada umumnya dan diberikan senyawa kimia yang bersifat prodegradant untuk membantu penguraian lebih cepat di alam. Namun, faktanya bahwa bahan seperti ini tidak bisa terurai 100%, malah dapat menjadi mikroplastik.
Dari tiga hari lokakarya yang telah dilaksanakan, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, diantaranya masih adanya kendala dalam penerapan peraturan di tingkat kabupaten/kota,belum ada mekanisme pelaksanaan yang seragam dari tingkat provinsi ke tingkat kabupaten/kota, belum adanya standar pengukuran kuantitatif dan kualitatif dalam mengevaluasi pencapaian pelaksanaan penegakan peraturan, dan pada beberapa kabupaten/kota terjadi lonjakan peningkatan penggunaan kantong plastik setelah peraturan tingkat provinsi diterapkan. Adapun rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah penilaian kinerja/monitoring terhadap peraturan untuk peningkatan kualitas di masa mendatang dalam hal penegakan peraturan, perubahan perilaku, kerjasama, ketersediaan data, peningkatan penegakan peraturan di tingkat jasa makanan dan minuman, peningkatan penegakan peraturan di tingkat ritel, peningkatan perubahan perilaku konsumen di pusat perbelanjaan, peningkatan perubahan perilaku konsumen di toko modern, peningkatan perubahan perilaku konsumen di pasar rakyat, dan peningkatan perubahan perilaku konsumen di unit usaha lainnya (warung, PKL, e-commerce).